Jumat, 24 Agustus 2007

POSOPOSO

Diskusi Injil & Adat


KELAHIRAN ANAK adalah suatu even yang sangat ditunggu-tunggu suatu keluarga. Apalagi bagi komunitas Batak yang menganggap kesuburan (hagabeon) cenderung sebagai nilai tertinggi dalam hidup, tentu saja kelahiran anak adalah peristiwa yang luar biasa membanggakan dan membahagiakan. Itulah sebabnya jaman dahulu di Tanah Batak bila suatu anak lahir (dahulu tentunya di rumah sendiri dengan bantuan bidan atau sibaso, bukan di RS) maka ayah si anak akan segera membelah kayu secara demonstratif, walaupun tengah malam, di depan rumahnya dengan menimbulkan suara keras. Jendela rumah pun dibuka lebar-lebar dan asap pun membubung dari perapian dapur. Inilah suatu tanda kepada segenap penghuni kampung telah terjadi kelahiran atau kehidupan baru.


1. MANGALLANG HAROAN atau MANGALLANG ESEK-ESEK

Keluarga yang mendapat anak pun secara spontan segera memotong ayam dan memasak nasi kemudian mengetok pintu rumah para tetangga sekaligus kerabat walau tengah malam atau dinihari mengundang makan. Ibu-ibu se kampung pun spontan berdatangan bersama anak-anak. Inilah yang dinamakan mangallang haroan atau mangharoani (menikmati makanan kedatangan). Di daerah Silindung disebut mangallang indahan esek-esek. Jamuan ini bersifat sangat spontan dan seadanya. Jika tidak ada ayam di kandang maka sayur labu siam dan ikan asin pun jadi. Sebab itu mangharoani benar-benar suatu pesta ungkapan sukacita yang spontan dan tulus dari suatu komunitas yang saling mengasihi atas kehidupan baru. Sementara itu di luar selama tiga malam para bapak mandungoi (bergadang) atau “melek-melekan” sambil bercengkerama dan “berjudi” sesamanya untuk menjaga si bayi dan ibunya dari kemungkinan ancaman kepada si bayi dan ibunya.


Beberapa hari kemudian orangtua si perempuan (ompung bao) pun dan kerabat yang lain datang membawa aek ni unte (harafiah air asam) yaitu sejenis makanan sayuran bangun-bangun yang diberi asam dan disantan dengan campuran daging ayam untuk memulihkan raga ibu si anak dan menderaskan ASI.


Selain jamuan spontan mangharoani, di Toba dikenal juga tradisi mangambit atau marambit (harafiah: menggendong), jamuan resmi yang diadakan keluarga untuk menyambut kelahiran si bayi dengan memotong babi. Pada kesempatan inilah keluarga dapat menyampaikan permohonan kepada ompungbao (ompung dari pihak perempuan) agar menghadiahkan sepetak tanah yang disebut sebagai indahan arian (makan siang) kepada cucunya atau seekor kerbau/ lembu yang disebut batu ni ansimun (biji ketimun, yang dapat berkembang-biak). Namun berhubung tanah yang dapat dibagi-bagikan semakin lama semakin sempit, maka tradisi mangambit ini berangsur hilang.


2. MANUTU AEK dohot MANGALAP GOAR

Sesudah beberapa minggu keluarga yang mendapat anak akan menentukan hari (maniti ari) untuk membawa anak yang baru lahir itu pertama kali ke mata air keramat atau homban (biasanya setiap kampung memiliki mata air keramat di tengah sawah) dipimpin oleh seorang dukun (datu). Inilah yang dinamakan upacara manutu aek. Melalui ritus ini keluarga menyampaikan persembahan kepada dewa-dewa terutama dewi air Boru Saniang Naga yang merupakan representasi kuasa Mulajadi na Bolon dan roh-roh leluhur untuk menyucikan si bayi dan menjauhkannya dari kuasa-kuasa jahat. Juga sekaligus meminta agar semakin banyak bayi yang dilahirkan (gabe). Acara ini dilanjutkan dengan memberikan nama atau mambahen goar kepada si bayi, yang juga dengan meminta rekomendasi dukun (datu). Bila dukun mengatakan nama itu tidak berakibat baik kepada si anak, maka orangtuanya pun akan mengganti nama itu. Beberapa umpasa yang sering diucapkan:

Dangka ni bulu godang pinangait-aithon. Sai simbur magodang ma ibana dao ma panahit-nahiton.

Ijuk ma tarup ni sopo godang basbason tarup ni sopo balian. Sai simbur ma ibana magodang pengpeng laho matua jala dao ma parsahitan.


Bagi kita komunitas Kristen-Batak jelas acara manutu aek bertentangan dengan iman kristiani kita sebab itu harus ditinggalkan. Begitu juga upacara mamampe goar (memberi nama) yang melibatkan dukun (datu). Kita percaya hanya darah Kristus sajalah yang dapat membersihkan dan menyucikan kita dari dosa dan kejahatan, dan melindungi kita dari segala bahaya.


Upacara manutu aek dan mangalap goar biasanya dilanjutkan dengan membawa si bayi ke pekan (maronan, mebang). Kita tahu pada jaman dahulu pekan atau pasar (onan) terjadi satu kali seminggu. Onan adalah simbol pusat kehidupan dan keramaian, sekaligus simbol kedamaian. Ke sanalah orangtua si bayi membawa anak yang baru lahir itu. Orangtua si bayi sengaja membeli lepat (lapet) atau pisang di pasar dan membagi-bagikan kepada orang yang dikenalnya sebagai tanda syukur dan sukacitanya. Sebaliknya kerabat yang menjumpainya juga membekali si bayi dengan oleh-oleh kecil. Bagi kita komunitas Batak-Kristen moderen yang paling penting adalah menangkap makna atau nilai yang terkandung di dalam tradisi maronan atau mebang ini yaitu: memperkenalkan dan membawa anak masuk kepada realitas atau dunia sekitarnya.


3. MEBAT atau MANGEBATI

Sesudah anak cukup kuat untuk dibawa berjalan-jalan maka keluarga pun memilih hari untuk membawanya untuk mengunjungi atau melawat (mebat, mangebati) kepada ompungnya (terutama ompung bao) dan keluarga lain seperti tulang. Keluarga ini pun membawa makanan (baca: memotong seekor babi) kepada ompung si bayi. Pada kesempatan ini ompungbao dapat memberikan ulos parompa (ulos kecil untuk menggendong atau mendukung anak bayi). Bagi kita komunitas Kristen-Batak moderen tradisi mebat (melawat) ini tentu juga baik untuk dipertahankan. Sebab makna yang terkandung dalam tradisi mebat ini adalah mendekatkan si anak secara emosional kepada kerabatnya, terutama ompungbao dan tulangnya.


4. PAIAS RERE

Ada kalanya suatu keluarga muda tinggal di rumah atau kampung mertuanya dan melahirkan anak di sana. Ada kebiasaan pada jaman dahulu, keluarga mengadakan jamuan paias rere (membersihkan tikar) untuk mertuanya sebagai tanda terima kasih atas kerepotan mertua mengurus bayi yang baru lahir. Bagi keluarga Kristen-Batak moderen yang menganut kesetaraan laki-laki dan perempuan, tentu saja adat paias rere ini harus dikritisi dan diberi makna baru hanya sebagai ucapan terima kasih. Sebab bagi kita anak laki-laki dan perempuan sama dan setara


5. ULOS PAROMPA

Ulos parompa adalah ulos yang diberikan oleh ompung bao kepada cucunya. Pada jaman dahulu ulos kecil ini memang benar-benar fungsional atau digunakan untuk menggendong (mangompa) si bayi sehari-hari. Namun sekarang dalam prakteknya ulos parompa tinggal merupakan simbol kasih ompung bao sebab komunitas Batak moderen sudah menggunakan tempat tidur bayi, kain panjang batik, gendongan dan
ayunan untuk menggendong bayi.


Ada kebiasaan komunitas Batak sekarang terutama di kota-kota untuk mengobral ulos parompa. Bukan hanya ompung bao, tetapi seolah-olah semua hula-hula harus memberikan ulos parompa kepada bayi yang baru lahir. Obral ulos ini hanya mengurangi makna ulos parompa.


7. PANDIDION NA BADIA

Inilah isi Pengakuan Iman (Konfessi) HKBP tentang baptisan kudus:

Kita percaya dan menyaksikan : Baptisan kudus adalah perantaraan anugerah Allah kepada manusia, sebab melalui baptisan orang percaya menerima keampunan dosa, kelahiran kembali, kelepasan dari maut dan kuasa iblis, serta hidup yang kekal.

Dengan ajaran ini kita menyaksikan: anak kecil pun harus dibaptiskan karena dengan pembabtisan itu mereka juga masuk ke dalam persekutuan orang-orang yang ditebus oleh Yesus. Ini juga berhubungan dengan pembekatan anak-anak oleh Tuhan Yesus.

(Kis 2:41, 10:48, 16:33, Roma 6:4, I Kor 10:4, Titus 3:5, Ibrani 11:29, I Pet 3:21).

Dengan penjelasan di atas jelaslah bagi kita bahwa Pandidion na Badia (baptisan kudus) berbeda sama sekali dengan tradisi manutu aek dan mamampe goar. Baptisan adalah sakramen yang menjadikan seorang anak masuk ke dalam Kerajaan Allah, pewaris segala berkat, dan keselamatan yang dikerjakan oleh Tuhan Yesus Kristus.


Pemberian nama adalah hak dan urusan orangtua si bayi. Sebab itu baptisan bukanlah “mengambil nama” (mangalap goar) dari gereja. Gereja membabtiskan si bayi untuk masuk Kerajaan Allah bukan memberikan nama si bayi. Nama bisa saja berganti. Namun babtisan tetap sekali untuk selamanya.


Dalam Roma 6:4 melalui pandidion na badia atau baptisan kita dijadikan satu atau sepokok (sanghambona) dengan Kristus yang mati (bagi dosa) dan Kristus yang bangkit (hidup bagi Allah). Sebab itu dasar baptisan adalah mempersatukan orang percaya dengan kematian dan kehidupan Kristus. Sebab itu sama seperti kematian Kristus, babtisan itu pun bagi kita hanya terjadi sekali untuk selama-lamanya.


Sebagai orang-orang Kristen-Batak sebaiknya kita tidak mencampur-adukkan atau menggabung Baptisan Kudus (Pandidion na Badia) dengan adat Batak (mebat, memberikan ulos parompa, dll). Baptisan itu adalah peristiwa yang sungguh besar dan mulia bagi orang beriman yang tidak dapat lagi ditambah-tambah dengan makna yang lain. Melalui baptisan seorang pindah dari kematian kepada kehidupan, dari perhambaan dosa kepada Kerajaan Allah. Jika komunitas Kristen-Batak ingin menyampaikan kasih kepada anak atau penghormatan kepada orangtua sebaiknya dilakukan di kesempatan lain.

Kita harus mengatakan dengan berani, jujur dan penuh kesantunan bahwa kegiatan-kegiatan adat yang dilakukan komunitas Kristen-Batak yang dilakukan di rumah persis sesudah acara Babtisan Kudus sangat merugikan makna baptisan sebagai sakramen, yang merupakan sarana keselamatan, hidup baru, pengampunan dan pewarisan Kerajaan Allah.


Pdt Daniel T.A. Harahap

HAGABEON

Diskusi Injil & Adat


Hagabeon (memiliki banyak turunan) adalah satu dari antara tiga cita-cita atau filsafat hidup terpenting Batak. Dua lagi adalah: hamoraon (memiliki banyak harta) dan hasangapon (sangat dihormati). Ketiga hal itu, sering disingkat 3(tolu)-H, dianggap sebagai “tiga serangkai” nilai yang menjadi falsafah atau orientasi hidup masyarakat Batak. (dalam lagu Alusi ahu ciptaan Nahum Situmorang ke tiga nilai itu sudah disebut sebagai cita-cita banyak orang Batak). Namun menurut penulis, sadar atau tidak sadar, banyak rang Batak sebenarnya menganggap hagabeon itulah yang paling penting atau bahkan satu-satunya yang memberi makna hidup di dunia ini.

1. HAGABEON DALAM PANDANGAN TRADISIONAL BATAK

Kita harus memahami falsafah hagabeon ini dalam konteks sejarah. Pada jaman dahulu, sebelum masuknya Injil dan modernitas ke Tanah Batak, angka kematian bayi dan anak-anak di kampung-kampung sangatlah tinggi. Sementara jumlah (kuantitas) manusia sangatlah dibutuhkan untuk menopang kehidupan dan persekutuan, antara lain untuk bertani dan membuka lahan baru, bertahan terhadap serangan musuh dan lain-lain. Sebab itu hagabeon (kesuburan) manusia memang sangat dibutuhkan untuk menopang kehidupan. Karena itulah masyarakat Batak sangat merindukan banyaknya orang (mauas di jolma). Hal ini didukung oleh konsep agama Batak yang menganggap kesuburan sebagai berkat ilahi yang terpenting. sebagaimana terlihat begitu banyak umpasa yang mengharapkan kesuburan tersebut:

Bintang na rumiris ombun na sumorop
Anak pe riris boru pe torop.

Lili ma di ginjang hodong ma di toru
Riris ma jolma di ginjang torop ma pinahan di toru.

Andor halumpang togu-togu ni lombu
Sai saur matua ma ho paabing-abing pahompu.

Harangan ni Pansur batu hatubuan ni singgolom
Maranak ma hamu sampulu pitu marboru sampulu onom.

Sahat-sahat ni solu sai sahat tu bontean
Leleng hita mangolu sai sahat ma tu panggabean

Sai tubuan laklak ma tubuan singkoru
Sai tubuan anak ma hamu tubuan boru.


Tinampul bulung ni salak laos hona bulung singkoru
Tibu ma hamu mangabing anak laos mangompa boru

Balga ma tiang ni ruma umbalga tiang ni sopo
Nunga gabe angka na matua gabean ma angka naposo.

Dalam kultur Batak pra-Kristen sumber hagabeon (kesuburan) ini adalah berkat hula-hula. Sebab itu jika seseorang tidak mendapat anak, maka dia juga datang kepada hula-hulanya memohon belas kasihan dan berkat.

Begitu pentingnya kesuburan ini, sehingga demi memperoleh hagabeon kultur Batak pra-Kristen mengijinkan seorang laki-laki yang tidak memiliki keturunan atau bahkan anak laki-laki untuk menikah lagi (marimbang) atau menceraikan istrinya (sirang).


Hagabeon (kesuburan) itu juga sangat menentukan status sosial seseorang dalam masyarakat Batak pra-Kristen. Semakin banyak anak, cucu dan cicit seseorang semakin terhormatlah orang tersebut dalam persekutuan adat. Itu nampak jelas dalam ritus-ritus kematian yang diatur oleh adat Batak pra-Kristen. Seorang yang mati meninggalkan keturunan yang banyak (saur matua bulung) akan mendapat penghormatan yang luar biasa. Berbeda dengan seorang yang mati tanpa anak atau bahkan tanpa anak laki-laki.


Nilai hagabeon (kesuburan) ini juga nampak jelas dalam berbagai praktek ritus Batak pra-Kristen yang lain. Seorang yang tidak menikah (walaupun sukses secara pribadi) dianggap sama dengan kanak-kanak. Pada jaman dahulu seseorang yang menikah namun tidak punya anak juga tidak diijinkan mangulosi (memberi berkat) dan jika manortor hanya boleh mengepalkan kedua tangannya. Seorang yang menikah dan hanya memiliki anak perempuan manortor dengan satu tangan terkepal dan satu tangan terbuka. Dalam rumah tradisional Batak nilai hagabeon (kesuburan) ini dimunculkan dalam simbol atau gambaran biawak (boraspati ni tano) dan empat payudara (adop-adop). Sementara dalam even kematian terlihat dalam simbol daun beringin yang bercabang dan beranting (sijagaron atau sanggul narata)

Dalam kultur Batak pra-Kristen hagabeon (kesuburan) bukan saja menentukan status sosial seseorang namun dianggap sebagai suatu tanda yang absolut bahwa seseorang mendapat berkat. Karena itu kemandulan otomatis dianggap sebagai bencana atau kutuk (terlebih bagi kaum perempuan). Itulah juga yang menyebabkan kultur Batak pra-Kristen menganggap pernikahan tanpa anak sama sekali tidak berguna atau tidak bermakna. Sisa-sisa warisan adat dan agama lama tentang keuburan itu mesti kita kritisi dan waspadai karena tidak lagi relevan (cocok) dengan iman Kristen dan budaya modernitas kita.

2. HAGABEON DALAM PERSPEKTIF MODEREN

Komunitas Batak sekarang hidup dalam era moderen. Agar dapat survive di tengah masyarakat moderen maka komunitas Batak juga harus mengakomodir nilai-nilai modern termasuk tentang kesuburan (hagabeon). Bagaimana pandangan modernitas tentang nilai kesuburan?


Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi termasuk kedokteran dan farmasi, maka angka kematian bayi dan anak-anak dapat ditekan. Jumlah penduduk bumi semakin bertambah. Sebab itu masyarakat moderen mencanangkan Keluarga Berencana (Keluarga Bertanggungjawab) termasuk dengan membatasi jumlah kelahiran.


Nilai-nilai manusia juga bergeser termasuk tentang kehidupan keluarga, pernikahan dan anak. Bagi masyarakat moderen bukan lagi kuantitas anak yang dipentingkan tetapi kualitas kehidupannya. Karena itu sedikit anak lebih bagus dibanding banyak anak. Anak laki-laki atau perempuan benar-benar dianggap sama dan setara. Pernikahan bukan lagi kewajiban tetapi pilihan bebas seseorang. Sebab itu pernikahan bagi bukan berarti peningkatan status sosial namun merupakan penambahan tanggungjawab pribadi. Menikah atau tidak menikah sama nilainya. Bahkan bagi sebagian orang, mengejar karir, prestasi, kinerja, dan kesenangan pribadi dianggap sama atau bahkan lebih penting dari menikah dan mempunyai anak.


Hal itu tidak berarti bahwa masyarakat moderen tidak menghargai kesuburan. Kemajuan teknologi kedokteran genekologi dan genetika (termasuk yang paling menghebohkan: bayi tabung dan clonning) menunjukkan bahwa orang moderen masih tetap merindukan anak atau keturunan.

Namun, bagi orang moderen kesuburan sperma atau kandungan bukan lagi nilai terpenting atau satu-satunya dalam kehidupan manusia. Manusia moderen lebih menghargai produktivitas, kreativitas, karya hasil pemikiran dan budi baik manusia daripada kesuburannya menghasilkan banyak anak.

3. HAGABEON DALAM PERSPEKTIF KRISTEN

Berbeda dengan agama-agama Kanaan (juga Batak kuno) yang sangat menekankan kesuburan (hagabeon), kekristen lebih menekankan ketaatan kepada Allah dan kasih kepada sesama. Sebab itu tujuan pernikahan dalam kekristenan bukan hanya untuk berkembang-biak (prokreasi) tetapi juga untuk mengalami dan menikmati kesejahteraan (rekreasi).


Pernikahan adalah perjanjian dua pribadi yang saling mengasihi di hadapan Tuhan dan dijadikan gambaran hubungan Tuhan dan gereja. (Ef 5:31-32). Kasih dan kesetiaan kepada pasangan lebih penting daripada pemilikan anak. Karena itu ketidakhadiran anak (anak laki-laki) tidak dapat dijadikan alasan untuk menikah lagi atau bercerai. (Markus 10:9).

Memang benar Alkitab mengatakan bahwa salah satu berkat Tuhan adalah memiliki keturunan (Kej 12:1, Kej 17:4-6). Namun keturunan bukanlah satu-satunya berkat Tuhan, sehingga kehidupan tanpa anak boleh dianggap sama dengan kehidupan tanpa berkat. Berkat Tuhan begitu banyak dan tidak terbatas jumlah dan jenisnya . (Ulangan 28)


Kita harus mengkoreksi pemahaman orang banyak yang mereduksi berkat Tuhan hanya menjadi 3(tiga):umur panjang, anak banyak, dan harta banyak. Kemudian direduksi menjadi satu: keturunan. Jika keturunan inilah satu-satunya parameter berkat Tuhan maka, Yesus dan Rasul Paulus serta nabi Yeremia tidak termasuk dalam kategori orang yang diberkati. Mungkinkah?


Sebagai komunitas Kristen-Batak dan moderen kita harus membaharui dan memperkaya makna hagabeon (kesuburan) dengan nilai moral dan spiritual.


Pertama:
kesuburan bukanlah satu-satunya berkat Tuhan sebab itu ketidaksuburan jasmani (sperma dan kandungan) bukanlah dosa atau cela dihadapan Tuhan dan sesama, apalagi yang bukan diakibatkan oleh kesalahan yang bersangkutan. Sebab itu pasangan yang kebetulan tidak subur secara jasmani harus dapat melihat berkat Tuhan yang lain yang berlimpah dalam kehidupannya, sehingga tetap memiliki alasan bersyukur dan bersukacita serta berbuat kasih dan kebajikan kepada dunia.


Kedua:
kesuburan jasmani tidak berpengaruh terhadap hubungan dengan Tuhan dan sesama, di hadapan Tuhan dan sesama orang yang menikah atau tidak menikah sama berharga dan mulianya, begitu juga orang yang memiliki anak atau tidak memiliki anak. Sebab itu tidak ada alasan menganggap diri rendah jika belum atau tidak memiliki anak.


Ketiga:
kesuburan jasmani tidak boleh dijadikan alasan mengkhianati janji pernikahan, berselingkuh, menambah jumlah istri/ suami, atau bercerai. Kesuburan bukanlah satu-satunya yang memberi makna pernikahan. Sebab itu pasangan yang kebetulan tidak subur secara jasmani harus tetap meyakini pernikahan mereka sangat berguna bagi dirinya, bagi Tuhan dan dunia.


Keempat:
kesuburan rohani, kreativitas dan produktivitas akal budi serta karya kasih kepada sesama lebih penting daripada sekedar kesuburan jasmani. Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus, untuk melakukan pekerjaan baik (Ef 2:10)

Pdt Daniel T.A. Harahap