Hagabeon (memiliki banyak turunan) adalah satu dari antara tiga cita-cita atau filsafat hidup terpenting Batak. Dua lagi adalah: hamoraon (memiliki banyak harta) dan hasangapon (sangat dihormati). Ketiga hal itu, sering disingkat 3(tolu)-H, dianggap sebagai “tiga serangkai” nilai yang menjadi falsafah atau orientasi hidup masyarakat Batak. (dalam lagu Alusi ahu ciptaan Nahum Situmorang ke tiga nilai itu sudah disebut sebagai cita-cita banyak orang Batak). Namun menurut penulis, sadar atau tidak sadar, banyak rang Batak sebenarnya menganggap hagabeon itulah yang paling penting atau bahkan satu-satunya yang memberi makna hidup di dunia ini.
Kita harus memahami falsafah hagabeon ini dalam konteks sejarah. Pada jaman dahulu, sebelum masuknya Injil dan modernitas ke Tanah Batak, angka kematian bayi dan anak-anak di kampung-kampung sangatlah tinggi. Sementara jumlah (kuantitas) manusia sangatlah dibutuhkan untuk menopang kehidupan dan persekutuan, antara lain untuk bertani dan membuka lahan baru, bertahan terhadap serangan musuh dan lain-lain. Sebab itu hagabeon (kesuburan) manusia memang sangat dibutuhkan untuk menopang kehidupan. Karena itulah masyarakat Batak sangat merindukan banyaknya orang (mauas di jolma). Hal ini didukung oleh konsep agama Batak yang menganggap kesuburan sebagai berkat ilahi yang terpenting. sebagaimana terlihat begitu banyak umpasa yang mengharapkan kesuburan tersebut:
Bintang na rumiris ombun na sumorop
Anak pe riris boru pe torop.
Lili ma di ginjang hodong ma di toru
Riris ma jolma di ginjang torop ma pinahan di toru.
Andor halumpang togu-togu ni lombu
Sai saur matua ma ho paabing-abing pahompu.
Harangan ni Pansur batu hatubuan ni singgolom
Maranak ma hamu sampulu pitu marboru sampulu onom.
Sahat-sahat ni solu sai sahat tu bontean
Leleng hita mangolu sai sahat ma tu panggabean
Sai tubuan laklak ma tubuan singkoru
Sai tubuan anak ma hamu tubuan boru.
Tinampul bulung ni salak laos hona bulung singkoru
Tibu ma hamu mangabing anak laos mangompa boru
Balga ma tiang ni ruma umbalga tiang ni sopo
Nunga gabe angka na matua gabean ma angka naposo.
Dalam kultur Batak pra-Kristen sumber hagabeon (kesuburan) ini adalah berkat hula-hula. Sebab itu jika seseorang tidak mendapat anak, maka dia juga datang kepada hula-hulanya memohon belas kasihan dan berkat.
Begitu pentingnya kesuburan ini, sehingga demi memperoleh hagabeon kultur Batak pra-Kristen mengijinkan seorang laki-laki yang tidak memiliki keturunan atau bahkan anak laki-laki untuk menikah lagi (marimbang) atau menceraikan istrinya (sirang).
Hagabeon (kesuburan) itu juga sangat menentukan status sosial seseorang dalam masyarakat Batak pra-Kristen. Semakin banyak anak, cucu dan cicit seseorang semakin terhormatlah orang tersebut dalam persekutuan adat. Itu nampak jelas dalam ritus-ritus kematian yang diatur oleh adat Batak pra-Kristen. Seorang yang mati meninggalkan keturunan yang banyak (saur matua bulung) akan mendapat penghormatan yang luar biasa. Berbeda dengan seorang yang mati tanpa anak atau bahkan tanpa anak laki-laki.
Nilai hagabeon (kesuburan) ini juga nampak jelas dalam berbagai praktek ritus Batak pra-Kristen yang lain. Seorang yang tidak menikah (walaupun sukses secara pribadi) dianggap sama dengan kanak-kanak. Pada jaman dahulu seseorang yang menikah namun tidak punya anak juga tidak diijinkan mangulosi (memberi berkat) dan jika manortor hanya boleh mengepalkan kedua tangannya. Seorang yang menikah dan hanya memiliki anak perempuan manortor dengan satu tangan terkepal dan satu tangan terbuka. Dalam rumah tradisional Batak nilai hagabeon (kesuburan) ini dimunculkan dalam simbol atau gambaran biawak (boraspati ni tano) dan empat payudara (adop-adop). Sementara dalam even kematian terlihat dalam simbol daun beringin yang bercabang dan beranting (sijagaron atau sanggul narata)
Dalam kultur Batak pra-Kristen hagabeon (kesuburan) bukan saja menentukan status sosial seseorang namun dianggap sebagai suatu tanda yang absolut bahwa seseorang mendapat berkat. Karena itu kemandulan otomatis dianggap sebagai bencana atau kutuk (terlebih bagi kaum perempuan). Itulah juga yang menyebabkan kultur Batak pra-Kristen menganggap pernikahan tanpa anak sama sekali tidak berguna atau tidak bermakna. Sisa-sisa warisan adat dan agama lama tentang keuburan itu mesti kita kritisi dan waspadai karena tidak lagi relevan (cocok) dengan iman Kristen dan budaya modernitas kita.
2. HAGABEON DALAM PERSPEKTIF MODEREN
Komunitas Batak sekarang hidup dalam era moderen. Agar dapat survive di tengah masyarakat moderen maka komunitas Batak juga harus mengakomodir nilai-nilai modern termasuk tentang kesuburan (hagabeon). Bagaimana pandangan modernitas tentang nilai kesuburan?
Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi termasuk kedokteran dan farmasi, maka angka kematian bayi dan anak-anak dapat ditekan. Jumlah penduduk bumi semakin bertambah. Sebab itu masyarakat moderen mencanangkan Keluarga Berencana (Keluarga Bertanggungjawab) termasuk dengan membatasi jumlah kelahiran.
Nilai-nilai manusia juga bergeser termasuk tentang kehidupan keluarga, pernikahan dan anak. Bagi masyarakat moderen bukan lagi kuantitas anak yang dipentingkan tetapi kualitas kehidupannya. Karena itu sedikit anak lebih bagus dibanding banyak anak. Anak laki-laki atau perempuan benar-benar dianggap sama dan setara. Pernikahan bukan lagi kewajiban tetapi pilihan bebas seseorang. Sebab itu pernikahan bagi bukan berarti peningkatan status sosial namun merupakan penambahan tanggungjawab pribadi. Menikah atau tidak menikah sama nilainya. Bahkan bagi sebagian orang, mengejar karir, prestasi, kinerja, dan kesenangan pribadi dianggap sama atau bahkan lebih penting dari menikah dan mempunyai anak.
Hal itu tidak berarti bahwa masyarakat moderen tidak menghargai kesuburan. Kemajuan teknologi kedokteran genekologi dan genetika (termasuk yang paling menghebohkan: bayi tabung dan clonning) menunjukkan bahwa orang moderen masih tetap merindukan anak atau keturunan.
Namun, bagi orang moderen kesuburan sperma atau kandungan bukan lagi nilai terpenting atau satu-satunya dalam kehidupan manusia. Manusia moderen lebih menghargai produktivitas, kreativitas, karya hasil pemikiran dan budi baik manusia daripada kesuburannya menghasilkan banyak anak.
3. HAGABEON DALAM PERSPEKTIF KRISTEN
Berbeda dengan agama-agama Kanaan (juga Batak kuno) yang sangat menekankan kesuburan (hagabeon), kekristen lebih menekankan ketaatan kepada Allah dan kasih kepada sesama. Sebab itu tujuan pernikahan dalam kekristenan bukan hanya untuk berkembang-biak (prokreasi) tetapi juga untuk mengalami dan menikmati kesejahteraan (rekreasi).
Pernikahan adalah perjanjian dua pribadi yang saling mengasihi di hadapan Tuhan dan dijadikan gambaran hubungan Tuhan dan gereja. (Ef 5:31-32). Kasih dan kesetiaan kepada pasangan lebih penting daripada pemilikan anak. Karena itu ketidakhadiran anak (anak laki-laki) tidak dapat dijadikan alasan untuk menikah lagi atau bercerai. (Markus 10:9).
Memang benar Alkitab mengatakan bahwa salah satu berkat Tuhan adalah memiliki keturunan (Kej 12:1, Kej 17:4-6). Namun keturunan bukanlah satu-satunya berkat Tuhan, sehingga kehidupan tanpa anak boleh dianggap sama dengan kehidupan tanpa berkat. Berkat Tuhan begitu banyak dan tidak terbatas jumlah dan jenisnya . (Ulangan 28)
Kita harus mengkoreksi pemahaman orang banyak yang mereduksi berkat Tuhan hanya menjadi 3(tiga):umur panjang, anak banyak, dan harta banyak. Kemudian direduksi menjadi satu: keturunan. Jika keturunan inilah satu-satunya parameter berkat Tuhan maka, Yesus dan Rasul Paulus serta nabi Yeremia tidak termasuk dalam kategori orang yang diberkati. Mungkinkah?
Sebagai komunitas Kristen-Batak dan moderen kita harus membaharui dan memperkaya makna hagabeon (kesuburan) dengan nilai moral dan spiritual.
Pertama: kesuburan bukanlah satu-satunya berkat Tuhan sebab itu ketidaksuburan jasmani (sperma dan kandungan) bukanlah dosa atau cela dihadapan Tuhan dan sesama, apalagi yang bukan diakibatkan oleh kesalahan yang bersangkutan. Sebab itu pasangan yang kebetulan tidak subur secara jasmani harus dapat melihat berkat Tuhan yang lain yang berlimpah dalam kehidupannya, sehingga tetap memiliki alasan bersyukur dan bersukacita serta berbuat kasih dan kebajikan kepada dunia.
Kedua: kesuburan jasmani tidak berpengaruh terhadap hubungan dengan Tuhan dan sesama, di hadapan Tuhan dan sesama orang yang menikah atau tidak menikah sama berharga dan mulianya, begitu juga orang yang memiliki anak atau tidak memiliki anak. Sebab itu tidak ada alasan menganggap diri rendah jika belum atau tidak memiliki anak.
Ketiga: kesuburan jasmani tidak boleh dijadikan alasan mengkhianati janji pernikahan, berselingkuh, menambah jumlah istri/ suami, atau bercerai. Kesuburan bukanlah satu-satunya yang memberi makna pernikahan. Sebab itu pasangan yang kebetulan tidak subur secara jasmani harus tetap meyakini pernikahan mereka sangat berguna bagi dirinya, bagi Tuhan dan dunia.
Keempat: kesuburan rohani, kreativitas dan produktivitas akal budi serta karya kasih kepada sesama lebih penting daripada sekedar kesuburan jasmani. Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus, untuk melakukan pekerjaan baik (Ef 2:10)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar